Nama “SEKADAU” ter-asumsi menjadi dua versi, pertama. Terambil dari sejenis pohon kayu yang banyak tumbuh di muara sungai yang sekarang disebut SUNGAI SEKADAU. Oleh penduduk, pohon kayu ini disebut “BATANG ADAU”. Versi lain menyebutkan, masyarakat pedalaman pada zaman dahulu, jika melihat sesuatu yang asing, mereka menyebutnya “BARU ADAU” (Baru melihat). Dengan dua pernyataan yang masih kontraversi itu, lahirlah sebutan istilah Sungai Sekadau. Asal mula penduduk Sekadau, dikisahkan berasal dari pecahan rombongan Dara Nante. Rombongan ini masih ada lagi yang telah meneruskan perjalanannya ke Hulu Sungai Kapuas. Dibawah pimpinan SINGA PATIH BARDAT dan PATIH BANGI. Rombongan Singa Patih Bardat, telah berkembang biak dan menurunkan suku Kematu, Suku Benawas, Sekadau, Melawang dan Ketungau. Rombongan yang dipimpin oleh Patih Bangi, meneruskan perjalanannya ke daerah Belitang sekarang. Di daerah inilah berkembangnya keturunan Daya’ Melawang, Ketungau yang menurunkan raja-raja Sekadau.
Mula-mula kerajaan Sekadau berdomisili di daerah KEMATU. Kurang lebih 3 km sebelah hilir Rawak. Didaerah ini benyak terdapat makam raja-raja. Kemudian dipindahkan ke Sekadau tepatnya di sungai Bara’. Disinilah ibu kota kerajaan Sekadau dibangun dengan kraton sebagai pusat pemerintahannya. Suku-suku tersebut diatas masing-masing dipimpin oleh Kepala Adat yang dipanggil Kiyai. Adapun gelar dari ke empat Kiyai tersebut adalah : Kiayi MAS TUMENGGUNG, Kiayi DIPA DIRAJA, Kiayi MAS SUTADILAGA dan Kiayi MAS SUTA NATA. Kedudukan Kiayi-kiayi ini amat kuat karena mereka turut menentukan pengangkatan seorang raja dan disamping itu merekalah yang bertanggung jawab atas soal ketentraman dan kelancaran pemungutan pajak. Gelar-gelar yang lebih tinggi sesudah Kiayi berturut-turut menurut tingkatannya adalah : Tumenggung, Patih, Demang dan Naga Lantai. Yang dapat diangkat menjadi Naga Lantai adalah yang mempunyai keahlian mengenai adat istiadat dan sudah berumur 70 tahun keatas. Menurut kisah nyata dari rakyat Sekadau, bahwa kerajaan Sekadau telah diperintahkan berturut-turut oleh keturunan PRABU JAYA dan keturunan RAJA-RAJA SIAK BULUN (Bahulun dari Sungai Keriau
Raja turun temurun itu secara ditael tak dapat lagi disebutkan, karena tak ada data-data yang diketemukan. Baik cerita rakyat, apalagi penulisannya, yang jelas itulah yang akan diuraikan sebagai berikut. Raja Sekadau pertama yang dapat disebutkan adalah PANGERAN ENGKONG. Pangeran Engkong dengan empat bersaudara : 1. PANGERAN AGONG PRABU JAYA 2. PANGERAN ENGKONG 3. PANGERAN SENARONG 4. RATU KUDONG Dari ke empat bersaudara tersebut, Pangeran Engkonglah yang telah terpilih menjadi raja Sekadau sesudah ayahnya wafat. Sedangkan Pangeran Senarong menurunkan raja-raja Belitang. Pangeran Engkong adalah putra dari kedua. Menurut baginda telah memilihnya berdasarkan penelitian kecakapan mereka sendiri-sendiri. Pangeran Engkong ternyata lebih bijaksana dari yang lainnya, ia tahu dan mengerti akan keadaan rakyat. Pangeran Agong sangat berkecil hati, karena tidak terpilih sebagai pengganti ayahandanya. Ia tak kurang akal juga untuk mengatasi perasaannya yang gundah dan tertekan itu. Ia mengajak dan mempengaruhi segala rakyat yang senang padanya, mereka berunding dan berangkat meninggalkan Sekadau menuju daerah Kuari, daerah ini masih meninggalkan bekasnya, walaupun kelihatan telah menghutan –
belukar saja. Hingga kini rakyat Sekadau menyebutnya “LAWANG KUARI” yang kini juga disebut sebagai simbol (khas) Sekadau, karena sudah menjadi kabupaten baru menjadi sebutan “SEKADAU KOTA LAWANG KUARI” Banyak orang yang senang mendatangi Lawang Kuari untuk maksud-maksud tertentu. Untuk mendatangi daerah ini harus tahu syarat-syarat tahayulnya. Banyak keanehan yang dapat diketemukan di daerah Lawang Kuari itu, oleh rakyat Sekadau daerah ini juga disebut “BATANG PANJANG MENGHILANG” Perkembangan Kerajaan Sekadau selanjutnya, diawali dengan perjalanan Sultan Anum oleh orang tuanya untuk mendatangi Mempawah guna untuk memperdalam pengetahuannya, terutama dalam bidang agama Islam. Itulah sebabnya kerajaan Sekadau dikala pemerintahannya agama Islam sangat pesat penyebarannya, sehingga Daya’ Kematu yang telah banyak masuk dan memeluk agama Islam dikala itu. Karena ramainya pemeluk agama Islam, pindahlah ibu kota kerajaan kehilir Sungai Bara’ Sekadau. Dengan bantuan rakyat yang rela berkorban dan dengan kesadaran, kerajaan Sekadau telah membangun sebuah mesjid untuk mereka bersembahyang, mesjid tersebut masih gagah hingga sekarang, cuma karena dipengaruhi renovasi oleh masyarakat setempat ciri khas keasliannya sudah tidak tampak lagi.
Pangeran Suma Negara meninggal dunia, telah digantikan oleh putra mahkota Abang Todong dengan gelar SULTAN ANUM. Setelah putra Mahkota dewasa, ia pun dinobatkan dan memerintah dengan gelar “SULTAN MANSUR” ( Putra Sultan Anum ). Waktu itu oleh Belanda, Sekadau dianjurkan menggunakan Penembahan dibawah kekuasaan Sultan Pontianak. Rakyat mendengar pernyataan tersebut langsung menolak dan tak terima, maka terjadilah konflik horizontal antar rakyat, sehingga menimbulkan Perang Basah (Perang Saudara). Kerajaan Sekadau kemudian dialihkan kepada Gusti Mekah sebagai pejabat, Gusti Mekah bernama Sultan Mansur memerintah dengan gelar PANEMBAHAN GUSTI MEKAH SRI NEGARA. Sesudah pemerintahan Panembahan Mekah Sri Negara dan saudaranya Gusti Isa, dengan gelar Pangeran Perdana Menteri berakhir, Maka Panembahan Gusti Akhmad Sri Negara dinobatkan naik tahta kerajaan. Tapi nasib malang bagi beliau dengan keluarganya, oleh penjajah Belanda telah mengasingkannya ke Jawa, di Malang. Dengan tuduhan palsu sebagai penghasut para tumenggung untuk melawan Belanda. Karena pengasingan Panembahan Gusti Akhmad Sri Negara tersebut maka, Panembahan Haji Gusti Abdullah diangkat dengan gelar Pangeran Mangku sebagai wakil Panembahan.
Ia pun dipersilahkan mendiami kraton di Sungai Bara’. Belum lama Pangeran Mangku dinobatkan sebagai wakil panembahan , iapun berpulang kerakhmatullah. Kedudukannya diganti oleh Panembahan Gusti Akhmad, yang kemudian diganti lagi oleh Sri Utin ( Istri dari Gusti Hamid ), dengan gelar Sri Ratu Negara. Setelah kembalinya beliau kerakhmatullah, digantilah Panembahan Gusti Kelip sebagai raja Sekadau. Gusti Kelip pun menjadi korban penyungkupan Jepang di Mandor pada tahun 1944. Untuk meneruskan pemerintahan kerajaan Sekadau, rakyat mengangkat Gusti Mohammad Kolen Sri Negara (Cucu Sultan Anum) sebagai pemegang pucuk pemerintahan kerajaan Sekadau. Ia telah memerintah sekitar tahun 1944-1952. Tahun 1946, Gusti Adnan diangkat memimpin kembali kerajaan Belitang. Pada bulan Juni 1952 Gusti Mohammad Kolen Sri Negara bersama Gusti Adnan, menyerahkan administrasi kerajaan langsung kepada pemerintah pusat di Jakarta. Pada waktu itu Mr.Mohammad Roem menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, yang disaksikan oleh Sayuti Malik (Pengetik Naskah Proklamasi Kemerdekaan RI). Sekembalinya mereka dari Jakarta, Kerajaan Sekadau administrasinya diserahkan langsung kepada Swapraja. Setelah Sekadau menjadi Kewedanaan maka diangkatlah Gusti Adnan sebagai Wedana pertama di Sekadau.*
* Nara Sumber : 1. Ab. Danis ( Cucu dari Panembahan Gst. Akhmad ) 2. Ab. Komar Ali ( Cucu dari Panembahan Gst Akhmad ) 3. Ab. Butoi ( Keturunan dari Pangeran Mangku ) 4. Ab. Ali Udin ( Keturunan dari Sultan Mansyur, sdh meninggal th 2008 ) 5. Gst. M. Saleh, A.Ma.Pd ( Cucu dari Panembahan Gst.Moh.Kolen ) 6. Ab. Nahar ( Keturunan dari Sultan Mansyur ).
Mula-mula kerajaan Sekadau berdomisili di daerah KEMATU. Kurang lebih 3 km sebelah hilir Rawak. Didaerah ini benyak terdapat makam raja-raja. Kemudian dipindahkan ke Sekadau tepatnya di sungai Bara’. Disinilah ibu kota kerajaan Sekadau dibangun dengan kraton sebagai pusat pemerintahannya. Suku-suku tersebut diatas masing-masing dipimpin oleh Kepala Adat yang dipanggil Kiyai. Adapun gelar dari ke empat Kiyai tersebut adalah : Kiayi MAS TUMENGGUNG, Kiayi DIPA DIRAJA, Kiayi MAS SUTADILAGA dan Kiayi MAS SUTA NATA. Kedudukan Kiayi-kiayi ini amat kuat karena mereka turut menentukan pengangkatan seorang raja dan disamping itu merekalah yang bertanggung jawab atas soal ketentraman dan kelancaran pemungutan pajak. Gelar-gelar yang lebih tinggi sesudah Kiayi berturut-turut menurut tingkatannya adalah : Tumenggung, Patih, Demang dan Naga Lantai. Yang dapat diangkat menjadi Naga Lantai adalah yang mempunyai keahlian mengenai adat istiadat dan sudah berumur 70 tahun keatas. Menurut kisah nyata dari rakyat Sekadau, bahwa kerajaan Sekadau telah diperintahkan berturut-turut oleh keturunan PRABU JAYA dan keturunan RAJA-RAJA SIAK BULUN (Bahulun dari Sungai Keriau
Raja turun temurun itu secara ditael tak dapat lagi disebutkan, karena tak ada data-data yang diketemukan. Baik cerita rakyat, apalagi penulisannya, yang jelas itulah yang akan diuraikan sebagai berikut. Raja Sekadau pertama yang dapat disebutkan adalah PANGERAN ENGKONG. Pangeran Engkong dengan empat bersaudara : 1. PANGERAN AGONG PRABU JAYA 2. PANGERAN ENGKONG 3. PANGERAN SENARONG 4. RATU KUDONG Dari ke empat bersaudara tersebut, Pangeran Engkonglah yang telah terpilih menjadi raja Sekadau sesudah ayahnya wafat. Sedangkan Pangeran Senarong menurunkan raja-raja Belitang. Pangeran Engkong adalah putra dari kedua. Menurut baginda telah memilihnya berdasarkan penelitian kecakapan mereka sendiri-sendiri. Pangeran Engkong ternyata lebih bijaksana dari yang lainnya, ia tahu dan mengerti akan keadaan rakyat. Pangeran Agong sangat berkecil hati, karena tidak terpilih sebagai pengganti ayahandanya. Ia tak kurang akal juga untuk mengatasi perasaannya yang gundah dan tertekan itu. Ia mengajak dan mempengaruhi segala rakyat yang senang padanya, mereka berunding dan berangkat meninggalkan Sekadau menuju daerah Kuari, daerah ini masih meninggalkan bekasnya, walaupun kelihatan telah menghutan –
belukar saja. Hingga kini rakyat Sekadau menyebutnya “LAWANG KUARI” yang kini juga disebut sebagai simbol (khas) Sekadau, karena sudah menjadi kabupaten baru menjadi sebutan “SEKADAU KOTA LAWANG KUARI” Banyak orang yang senang mendatangi Lawang Kuari untuk maksud-maksud tertentu. Untuk mendatangi daerah ini harus tahu syarat-syarat tahayulnya. Banyak keanehan yang dapat diketemukan di daerah Lawang Kuari itu, oleh rakyat Sekadau daerah ini juga disebut “BATANG PANJANG MENGHILANG” Perkembangan Kerajaan Sekadau selanjutnya, diawali dengan perjalanan Sultan Anum oleh orang tuanya untuk mendatangi Mempawah guna untuk memperdalam pengetahuannya, terutama dalam bidang agama Islam. Itulah sebabnya kerajaan Sekadau dikala pemerintahannya agama Islam sangat pesat penyebarannya, sehingga Daya’ Kematu yang telah banyak masuk dan memeluk agama Islam dikala itu. Karena ramainya pemeluk agama Islam, pindahlah ibu kota kerajaan kehilir Sungai Bara’ Sekadau. Dengan bantuan rakyat yang rela berkorban dan dengan kesadaran, kerajaan Sekadau telah membangun sebuah mesjid untuk mereka bersembahyang, mesjid tersebut masih gagah hingga sekarang, cuma karena dipengaruhi renovasi oleh masyarakat setempat ciri khas keasliannya sudah tidak tampak lagi.
Pangeran Suma Negara meninggal dunia, telah digantikan oleh putra mahkota Abang Todong dengan gelar SULTAN ANUM. Setelah putra Mahkota dewasa, ia pun dinobatkan dan memerintah dengan gelar “SULTAN MANSUR” ( Putra Sultan Anum ). Waktu itu oleh Belanda, Sekadau dianjurkan menggunakan Penembahan dibawah kekuasaan Sultan Pontianak. Rakyat mendengar pernyataan tersebut langsung menolak dan tak terima, maka terjadilah konflik horizontal antar rakyat, sehingga menimbulkan Perang Basah (Perang Saudara). Kerajaan Sekadau kemudian dialihkan kepada Gusti Mekah sebagai pejabat, Gusti Mekah bernama Sultan Mansur memerintah dengan gelar PANEMBAHAN GUSTI MEKAH SRI NEGARA. Sesudah pemerintahan Panembahan Mekah Sri Negara dan saudaranya Gusti Isa, dengan gelar Pangeran Perdana Menteri berakhir, Maka Panembahan Gusti Akhmad Sri Negara dinobatkan naik tahta kerajaan. Tapi nasib malang bagi beliau dengan keluarganya, oleh penjajah Belanda telah mengasingkannya ke Jawa, di Malang. Dengan tuduhan palsu sebagai penghasut para tumenggung untuk melawan Belanda. Karena pengasingan Panembahan Gusti Akhmad Sri Negara tersebut maka, Panembahan Haji Gusti Abdullah diangkat dengan gelar Pangeran Mangku sebagai wakil Panembahan.
Ia pun dipersilahkan mendiami kraton di Sungai Bara’. Belum lama Pangeran Mangku dinobatkan sebagai wakil panembahan , iapun berpulang kerakhmatullah. Kedudukannya diganti oleh Panembahan Gusti Akhmad, yang kemudian diganti lagi oleh Sri Utin ( Istri dari Gusti Hamid ), dengan gelar Sri Ratu Negara. Setelah kembalinya beliau kerakhmatullah, digantilah Panembahan Gusti Kelip sebagai raja Sekadau. Gusti Kelip pun menjadi korban penyungkupan Jepang di Mandor pada tahun 1944. Untuk meneruskan pemerintahan kerajaan Sekadau, rakyat mengangkat Gusti Mohammad Kolen Sri Negara (Cucu Sultan Anum) sebagai pemegang pucuk pemerintahan kerajaan Sekadau. Ia telah memerintah sekitar tahun 1944-1952. Tahun 1946, Gusti Adnan diangkat memimpin kembali kerajaan Belitang. Pada bulan Juni 1952 Gusti Mohammad Kolen Sri Negara bersama Gusti Adnan, menyerahkan administrasi kerajaan langsung kepada pemerintah pusat di Jakarta. Pada waktu itu Mr.Mohammad Roem menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, yang disaksikan oleh Sayuti Malik (Pengetik Naskah Proklamasi Kemerdekaan RI). Sekembalinya mereka dari Jakarta, Kerajaan Sekadau administrasinya diserahkan langsung kepada Swapraja. Setelah Sekadau menjadi Kewedanaan maka diangkatlah Gusti Adnan sebagai Wedana pertama di Sekadau.*
* Nara Sumber : 1. Ab. Danis ( Cucu dari Panembahan Gst. Akhmad ) 2. Ab. Komar Ali ( Cucu dari Panembahan Gst Akhmad ) 3. Ab. Butoi ( Keturunan dari Pangeran Mangku ) 4. Ab. Ali Udin ( Keturunan dari Sultan Mansyur, sdh meninggal th 2008 ) 5. Gst. M. Saleh, A.Ma.Pd ( Cucu dari Panembahan Gst.Moh.Kolen ) 6. Ab. Nahar ( Keturunan dari Sultan Mansyur ).
1 Comment:
-
- Dini Haiti Zulfany said...
1 Januari 2013 pukul 07.47izin copy ya :)
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)