Ini adalah sejumlah makam tua peninggalan para raja sekadau dulu yang hingga sekarang tidak terawat lagi, namun sejak sekadau dmekarkan menjadi kabupaten baru tahun 2003 hingga kini sudah ada sedikit perhatiabudayan pemda terhadap aset budaya daerah diantaranya makam-makam raja dan hulu balangnya itu menandakan bahwa di sekadau dahulu pernah ada pemerintahan yang dikepalai seorang raja.
Nama “SEKADAU” ter-asumsi menjadi dua versi, pertama. Terambil dari sejenis pohon kayu yang banyak tumbuh di muara sungai yang sekarang disebut SUNGAI SEKADAU. Oleh penduduk, pohon kayu ini disebut “BATANG ADAU”. Versi lain menyebutkan, masyarakat pedalaman pada zaman dahulu, jika melihat sesuatu yang asing, mereka menyebutnya “BARU ADAU” (Baru melihat). Dengan dua pernyataan yang masih kontraversi itu, lahirlah sebutan istilah Sungai Sekadau. Asal mula penduduk Sekadau, dikisahkan berasal dari pecahan rombongan Dara Nante. Rombongan ini masih ada lagi yang telah meneruskan perjalanannya ke Hulu Sungai Kapuas. Dibawah pimpinan SINGA PATIH BARDAT dan PATIH BANGI. Rombongan Singa Patih Bardat, telah berkembang biak dan menurunkan suku Kematu, Suku Benawas, Sekadau, Melawang dan Ketungau. Rombongan yang dipimpin oleh Patih Bangi, meneruskan perjalanannya ke daerah Belitang sekarang. Di daerah inilah berkembangnya keturunan Daya’ Melawang, Ketungau yang menurunkan raja-raja Sekadau.
Mula-mula kerajaan Sekadau berdomisili di daerah KEMATU. Kurang lebih 3 km sebelah hilir Rawak. Didaerah ini benyak terdapat makam raja-raja. Kemudian dipindahkan ke Sekadau tepatnya di sungai Bara’. Disinilah ibu kota kerajaan Sekadau dibangun dengan kraton sebagai pusat pemerintahannya. Suku-suku tersebut diatas masing-masing dipimpin oleh Kepala Adat yang dipanggil Kiyai. Adapun gelar dari ke empat Kiyai tersebut adalah : Kiayi MAS TUMENGGUNG, Kiayi DIPA DIRAJA, Kiayi MAS SUTADILAGA dan Kiayi MAS SUTA NATA. Kedudukan Kiayi-kiayi ini amat kuat karena mereka turut menentukan pengangkatan seorang raja dan disamping itu merekalah yang bertanggung jawab atas soal ketentraman dan kelancaran pemungutan pajak. Gelar-gelar yang lebih tinggi sesudah Kiayi berturut-turut menurut tingkatannya adalah : Tumenggung, Patih, Demang dan Naga Lantai. Yang dapat diangkat menjadi Naga Lantai adalah yang mempunyai keahlian mengenai adat istiadat dan sudah berumur 70 tahun keatas. Menurut kisah nyata dari rakyat Sekadau, bahwa kerajaan Sekadau telah diperintahkan berturut-turut oleh keturunan PRABU JAYA dan keturunan RAJA-RAJA SIAK BULUN (Bahulun dari Sungai Keriau
Raja turun temurun itu secara ditael tak dapat lagi disebutkan, karena tak ada data-data yang diketemukan. Baik cerita rakyat, apalagi penulisannya, yang jelas itulah yang akan diuraikan sebagai berikut. Raja Sekadau pertama yang dapat disebutkan adalah PANGERAN ENGKONG. Pangeran Engkong dengan empat bersaudara : 1. PANGERAN AGONG PRABU JAYA 2. PANGERAN ENGKONG 3. PANGERAN SENARONG 4. RATU KUDONG Dari ke empat bersaudara tersebut, Pangeran Engkonglah yang telah terpilih menjadi raja Sekadau sesudah ayahnya wafat. Sedangkan Pangeran Senarong menurunkan raja-raja Belitang. Pangeran Engkong adalah putra dari kedua. Menurut baginda telah memilihnya berdasarkan penelitian kecakapan mereka sendiri-sendiri. Pangeran Engkong ternyata lebih bijaksana dari yang lainnya, ia tahu dan mengerti akan keadaan rakyat. Pangeran Agong sangat berkecil hati, karena tidak terpilih sebagai pengganti ayahandanya. Ia tak kurang akal juga untuk mengatasi perasaannya yang gundah dan tertekan itu. Ia mengajak dan mempengaruhi segala rakyat yang senang padanya, mereka berunding dan berangkat meninggalkan Sekadau menuju daerah Kuari, daerah ini masih meninggalkan bekasnya, walaupun kelihatan telah menghutan –
belukar saja. Hingga kini rakyat Sekadau menyebutnya “LAWANG KUARI” yang kini juga disebut sebagai simbol (khas) Sekadau, karena sudah menjadi kabupaten baru menjadi sebutan “SEKADAU KOTA LAWANG KUARI” Banyak orang yang senang mendatangi Lawang Kuari untuk maksud-maksud tertentu. Untuk mendatangi daerah ini harus tahu syarat-syarat tahayulnya. Banyak keanehan yang dapat diketemukan di daerah Lawang Kuari itu, oleh rakyat Sekadau daerah ini juga disebut “BATANG PANJANG MENGHILANG” Perkembangan Kerajaan Sekadau selanjutnya, diawali dengan perjalanan Sultan Anum oleh orang tuanya untuk mendatangi Mempawah guna untuk memperdalam pengetahuannya, terutama dalam bidang agama Islam. Itulah sebabnya kerajaan Sekadau dikala pemerintahannya agama Islam sangat pesat penyebarannya, sehingga Daya’ Kematu yang telah banyak masuk dan memeluk agama Islam dikala itu. Karena ramainya pemeluk agama Islam, pindahlah ibu kota kerajaan kehilir Sungai Bara’ Sekadau. Dengan bantuan rakyat yang rela berkorban dan dengan kesadaran, kerajaan Sekadau telah membangun sebuah mesjid untuk mereka bersembahyang, mesjid tersebut masih gagah hingga sekarang, cuma karena dipengaruhi renovasi oleh masyarakat setempat ciri khas keasliannya sudah tidak tampak lagi.
Pangeran Suma Negara meninggal dunia, telah digantikan oleh putra mahkota Abang Todong dengan gelar SULTAN ANUM. Setelah putra Mahkota dewasa, ia pun dinobatkan dan memerintah dengan gelar “SULTAN MANSUR” ( Putra Sultan Anum ). Waktu itu oleh Belanda, Sekadau dianjurkan menggunakan Penembahan dibawah kekuasaan Sultan Pontianak. Rakyat mendengar pernyataan tersebut langsung menolak dan tak terima, maka terjadilah konflik horizontal antar rakyat, sehingga menimbulkan Perang Basah (Perang Saudara). Kerajaan Sekadau kemudian dialihkan kepada Gusti Mekah sebagai pejabat, Gusti Mekah bernama Sultan Mansur memerintah dengan gelar PANEMBAHAN GUSTI MEKAH SRI NEGARA. Sesudah pemerintahan Panembahan Mekah Sri Negara dan saudaranya Gusti Isa, dengan gelar Pangeran Perdana Menteri berakhir, Maka Panembahan Gusti Akhmad Sri Negara dinobatkan naik tahta kerajaan. Tapi nasib malang bagi beliau dengan keluarganya, oleh penjajah Belanda telah mengasingkannya ke Jawa, di Malang. Dengan tuduhan palsu sebagai penghasut para tumenggung untuk melawan Belanda. Karena pengasingan Panembahan Gusti Akhmad Sri Negara tersebut maka, Panembahan Haji Gusti Abdullah diangkat dengan gelar Pangeran Mangku sebagai wakil Panembahan.
Ia pun dipersilahkan mendiami kraton di Sungai Bara’. Belum lama Pangeran Mangku dinobatkan sebagai wakil panembahan , iapun berpulang kerakhmatullah. Kedudukannya diganti oleh Panembahan Gusti Akhmad, yang kemudian diganti lagi oleh Sri Utin ( Istri dari Gusti Hamid ), dengan gelar Sri Ratu Negara. Setelah kembalinya beliau kerakhmatullah, digantilah Panembahan Gusti Kelip sebagai raja Sekadau. Gusti Kelip pun menjadi korban penyungkupan Jepang di Mandor pada tahun 1944. Untuk meneruskan pemerintahan kerajaan Sekadau, rakyat mengangkat Gusti Mohammad Kolen Sri Negara (Cucu Sultan Anum) sebagai pemegang pucuk pemerintahan kerajaan Sekadau. Ia telah memerintah sekitar tahun 1944-1952. Tahun 1946, Gusti Adnan diangkat memimpin kembali kerajaan Belitang. Pada bulan Juni 1952 Gusti Mohammad Kolen Sri Negara bersama Gusti Adnan, menyerahkan administrasi kerajaan langsung kepada pemerintah pusat di Jakarta. Pada waktu itu Mr.Mohammad Roem menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, yang disaksikan oleh Sayuti Malik (Pengetik Naskah Proklamasi Kemerdekaan RI). Sekembalinya mereka dari Jakarta, Kerajaan Sekadau administrasinya diserahkan langsung kepada Swapraja. Setelah Sekadau menjadi Kewedanaan maka diangkatlah Gusti Adnan sebagai Wedana pertama di Sekadau.*
* Nara Sumber : 1. Ab. Danis ( Cucu dari Panembahan Gst. Akhmad ) 2. Ab. Komar Ali ( Cucu dari Panembahan Gst Akhmad ) 3. Ab. Butoi ( Keturunan dari Pangeran Mangku ) 4. Ab. Ali Udin ( Keturunan dari Sultan Mansyur, sdh meninggal th 2008 ) 5. Gst. M. Saleh, A.Ma.Pd ( Cucu dari Panembahan Gst.Moh.Kolen ) 6. Ab. Nahar ( Keturunan dari Sultan Mansyur ).
Mula-mula kerajaan Sekadau berdomisili di daerah KEMATU. Kurang lebih 3 km sebelah hilir Rawak. Didaerah ini benyak terdapat makam raja-raja. Kemudian dipindahkan ke Sekadau tepatnya di sungai Bara’. Disinilah ibu kota kerajaan Sekadau dibangun dengan kraton sebagai pusat pemerintahannya. Suku-suku tersebut diatas masing-masing dipimpin oleh Kepala Adat yang dipanggil Kiyai. Adapun gelar dari ke empat Kiyai tersebut adalah : Kiayi MAS TUMENGGUNG, Kiayi DIPA DIRAJA, Kiayi MAS SUTADILAGA dan Kiayi MAS SUTA NATA. Kedudukan Kiayi-kiayi ini amat kuat karena mereka turut menentukan pengangkatan seorang raja dan disamping itu merekalah yang bertanggung jawab atas soal ketentraman dan kelancaran pemungutan pajak. Gelar-gelar yang lebih tinggi sesudah Kiayi berturut-turut menurut tingkatannya adalah : Tumenggung, Patih, Demang dan Naga Lantai. Yang dapat diangkat menjadi Naga Lantai adalah yang mempunyai keahlian mengenai adat istiadat dan sudah berumur 70 tahun keatas. Menurut kisah nyata dari rakyat Sekadau, bahwa kerajaan Sekadau telah diperintahkan berturut-turut oleh keturunan PRABU JAYA dan keturunan RAJA-RAJA SIAK BULUN (Bahulun dari Sungai Keriau
Raja turun temurun itu secara ditael tak dapat lagi disebutkan, karena tak ada data-data yang diketemukan. Baik cerita rakyat, apalagi penulisannya, yang jelas itulah yang akan diuraikan sebagai berikut. Raja Sekadau pertama yang dapat disebutkan adalah PANGERAN ENGKONG. Pangeran Engkong dengan empat bersaudara : 1. PANGERAN AGONG PRABU JAYA 2. PANGERAN ENGKONG 3. PANGERAN SENARONG 4. RATU KUDONG Dari ke empat bersaudara tersebut, Pangeran Engkonglah yang telah terpilih menjadi raja Sekadau sesudah ayahnya wafat. Sedangkan Pangeran Senarong menurunkan raja-raja Belitang. Pangeran Engkong adalah putra dari kedua. Menurut baginda telah memilihnya berdasarkan penelitian kecakapan mereka sendiri-sendiri. Pangeran Engkong ternyata lebih bijaksana dari yang lainnya, ia tahu dan mengerti akan keadaan rakyat. Pangeran Agong sangat berkecil hati, karena tidak terpilih sebagai pengganti ayahandanya. Ia tak kurang akal juga untuk mengatasi perasaannya yang gundah dan tertekan itu. Ia mengajak dan mempengaruhi segala rakyat yang senang padanya, mereka berunding dan berangkat meninggalkan Sekadau menuju daerah Kuari, daerah ini masih meninggalkan bekasnya, walaupun kelihatan telah menghutan –
belukar saja. Hingga kini rakyat Sekadau menyebutnya “LAWANG KUARI” yang kini juga disebut sebagai simbol (khas) Sekadau, karena sudah menjadi kabupaten baru menjadi sebutan “SEKADAU KOTA LAWANG KUARI” Banyak orang yang senang mendatangi Lawang Kuari untuk maksud-maksud tertentu. Untuk mendatangi daerah ini harus tahu syarat-syarat tahayulnya. Banyak keanehan yang dapat diketemukan di daerah Lawang Kuari itu, oleh rakyat Sekadau daerah ini juga disebut “BATANG PANJANG MENGHILANG” Perkembangan Kerajaan Sekadau selanjutnya, diawali dengan perjalanan Sultan Anum oleh orang tuanya untuk mendatangi Mempawah guna untuk memperdalam pengetahuannya, terutama dalam bidang agama Islam. Itulah sebabnya kerajaan Sekadau dikala pemerintahannya agama Islam sangat pesat penyebarannya, sehingga Daya’ Kematu yang telah banyak masuk dan memeluk agama Islam dikala itu. Karena ramainya pemeluk agama Islam, pindahlah ibu kota kerajaan kehilir Sungai Bara’ Sekadau. Dengan bantuan rakyat yang rela berkorban dan dengan kesadaran, kerajaan Sekadau telah membangun sebuah mesjid untuk mereka bersembahyang, mesjid tersebut masih gagah hingga sekarang, cuma karena dipengaruhi renovasi oleh masyarakat setempat ciri khas keasliannya sudah tidak tampak lagi.
Pangeran Suma Negara meninggal dunia, telah digantikan oleh putra mahkota Abang Todong dengan gelar SULTAN ANUM. Setelah putra Mahkota dewasa, ia pun dinobatkan dan memerintah dengan gelar “SULTAN MANSUR” ( Putra Sultan Anum ). Waktu itu oleh Belanda, Sekadau dianjurkan menggunakan Penembahan dibawah kekuasaan Sultan Pontianak. Rakyat mendengar pernyataan tersebut langsung menolak dan tak terima, maka terjadilah konflik horizontal antar rakyat, sehingga menimbulkan Perang Basah (Perang Saudara). Kerajaan Sekadau kemudian dialihkan kepada Gusti Mekah sebagai pejabat, Gusti Mekah bernama Sultan Mansur memerintah dengan gelar PANEMBAHAN GUSTI MEKAH SRI NEGARA. Sesudah pemerintahan Panembahan Mekah Sri Negara dan saudaranya Gusti Isa, dengan gelar Pangeran Perdana Menteri berakhir, Maka Panembahan Gusti Akhmad Sri Negara dinobatkan naik tahta kerajaan. Tapi nasib malang bagi beliau dengan keluarganya, oleh penjajah Belanda telah mengasingkannya ke Jawa, di Malang. Dengan tuduhan palsu sebagai penghasut para tumenggung untuk melawan Belanda. Karena pengasingan Panembahan Gusti Akhmad Sri Negara tersebut maka, Panembahan Haji Gusti Abdullah diangkat dengan gelar Pangeran Mangku sebagai wakil Panembahan.
Ia pun dipersilahkan mendiami kraton di Sungai Bara’. Belum lama Pangeran Mangku dinobatkan sebagai wakil panembahan , iapun berpulang kerakhmatullah. Kedudukannya diganti oleh Panembahan Gusti Akhmad, yang kemudian diganti lagi oleh Sri Utin ( Istri dari Gusti Hamid ), dengan gelar Sri Ratu Negara. Setelah kembalinya beliau kerakhmatullah, digantilah Panembahan Gusti Kelip sebagai raja Sekadau. Gusti Kelip pun menjadi korban penyungkupan Jepang di Mandor pada tahun 1944. Untuk meneruskan pemerintahan kerajaan Sekadau, rakyat mengangkat Gusti Mohammad Kolen Sri Negara (Cucu Sultan Anum) sebagai pemegang pucuk pemerintahan kerajaan Sekadau. Ia telah memerintah sekitar tahun 1944-1952. Tahun 1946, Gusti Adnan diangkat memimpin kembali kerajaan Belitang. Pada bulan Juni 1952 Gusti Mohammad Kolen Sri Negara bersama Gusti Adnan, menyerahkan administrasi kerajaan langsung kepada pemerintah pusat di Jakarta. Pada waktu itu Mr.Mohammad Roem menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, yang disaksikan oleh Sayuti Malik (Pengetik Naskah Proklamasi Kemerdekaan RI). Sekembalinya mereka dari Jakarta, Kerajaan Sekadau administrasinya diserahkan langsung kepada Swapraja. Setelah Sekadau menjadi Kewedanaan maka diangkatlah Gusti Adnan sebagai Wedana pertama di Sekadau.*
* Nara Sumber : 1. Ab. Danis ( Cucu dari Panembahan Gst. Akhmad ) 2. Ab. Komar Ali ( Cucu dari Panembahan Gst Akhmad ) 3. Ab. Butoi ( Keturunan dari Pangeran Mangku ) 4. Ab. Ali Udin ( Keturunan dari Sultan Mansyur, sdh meninggal th 2008 ) 5. Gst. M. Saleh, A.Ma.Pd ( Cucu dari Panembahan Gst.Moh.Kolen ) 6. Ab. Nahar ( Keturunan dari Sultan Mansyur ).
Pada zaman dahulu, datanglah sekelompok suku Cina dari Vietnam, dengan misi menjelajah seluruh tanah air Indonesia. Kebetulan waktu itu sampailah mereka di tempat yang gersang dan padang pasir yang terhampar luas, karena menurut mereka disitulah tempat tersimpannya kekayaan alam yang tak ternilai harganya, salah satu diantaranya adalah tambang emas. Di sekitarnya terhampar pula ngarai yang begitu luas, kurang lebih 3X5 Km. Karena prospek alam yang menguntungkan, maka mereka ingin menetap disana, oleh karena itu langsung mereka membuat bendungan ditempat itu yang sekarang dikenal dengan sebutan Danau Engkaluk. Kelompok suku Cina tersebut beranggotakan 5 orang, mereka sangat perkasa dan peramah, sehingga dengan mudah menjalin hubungan baik dengan penduduk setempat yaitu dengan suku Ketungau di Kampung Sanong (daerah Seraras). Pengertian kata Seraras sebenarnya adalah selurus-lurusnya. Saking ramahnya saban hari mereka selalu berkumpul dengan penduduk kampung, seperti bertukar pikiran tentang Pertanian, Perikanan Darat, Pertambangan dll. Karena mereka pelaut ulung sehingga pandai berdayung menggunakan sampan mengarungi sungai dan danau.
Pada suatu hari di datanglah suku dari daerah Sepauk (Sintang) karena bertepatan dengan musim ngayau, ngayau artinya keperkasaan seorang laki-laki pada suku tertentu dengan membawa kepala manusia dijadikan sebagai tumbal. Tujuan dari suku tersebut ingin mengayau di kampung Sanong, sesampainya mereka di lokasi Engkaluk serta merta memaksa kelompok Cina untuk mengantar mereka ke seberang, setelah ditanya kepada mereka ternyata satupun tidak ada yang mau mengentar. Dengan demikian gayung bersambut, perlawananpun tidak dapat dihindarkan lagi. Perlawanan yang tak berimbang satu berbanding sepuluh itu, mengakibatkan empat dari kelima suku Cina tersebut harus menerima takdir dan kenyataan, sedangkan yang satunya bersembunyi di balik dalong yang besar (kuali/kawah), yang kebetulan tertelungkup di belakang barak tempat tinggal mereka. Dengan persembunyian itu maka selamatlah satu dari kelima suku Cina tersebut. Kemudian setelah peristiwa itu terjadi suku yang datang dari Sepauk segera meninggalkan tempat dan menenteng empat buah kepala suku Cina yang terbunuh tadi dan mereka segera kembali ke daerah Sepauk lagi. Setelah beberapa saat suasana aman, keluarlah yang bersembunyi tadi kemudian langsung memberitahukan kepada penduduk lain. Mendengar peristiwa yang dilaporkan tadi penduduk
Kampung Sanong menjadi berang. Tanpa basa-basi mereka segera berkumpul, dan balik menyerang suku yang datang dari Sepauk, yang kebetulan masih dalam perjalanan pulang. Rombongan tersebut langsung mengepung tanah genting yang diapit oleh dua buah bukit. Pertemuan tak dapat dihindari perang sengitpun langsung terjadi. Akhir dari penyerangan tersebut Suku dari Sepauk semuanya mati dan kemenangan jatuh kepada Suku Ketungau yang berasal dari Kampung Sanong. Setelah acara ritual dengan kematian orang-orang suku Cina tadi, yang tersisa hanya satu orang mereka kembalikan ke Tiongkok. Danau Engkaluk setelah ditinggalkan oleh suku Cina tadi hampir menjadi semak belukar yang tampak hanya hamparan pasir yang luas dan Danau Engkaluk yang tenang tanpa penghuni. Kurang lebih pada abad ke 17 datanglah Bangsa Inggris, mereka membuka lahan perkebunan karet tepatnya di pesisir lokasi Danau Engkaluk yang pada waktu itu Kampung Sanong telah berganti nama menjadi Seraras dengan Kepala Kampung KIAYI DRAMAN. Dan Kebayannya bernama YAHYA BIN MOHAMMAD YASIN. Untuk memperkuat kedudukan dan mencari simpatik rakyat, maka Yahya M. Yasin diangkat oleh Inggris menjadi mandor di perkebunan karet milik Inggris yang berada di Danau Engkaluk dan pesisir Sungai Kapuas.
Sepeninggalnya Inggris dari Indonesia, Danau tersebut oleh Inggris diserahkan kepada turunan Yahya M. Yasin untuk dijaga dan dilestarikan sebagai tanda peninggalan. Setelah melewati beberapa kurun waktu, datanglah Belanda ke Indonesia, dan daerah itu juga menjadi sasaran empuk para pendatang. Karena tidak lain yang menjadi incaran mereka adalah sumber alam yang terkandung di dalamnya. Danau tersebut pada waktu itu oleh Belanda langsung sebagiannya dibongkar, karena menurut mereka terdapat buaya yang dapat membahayakan keselamatn penduduk, dengan peristiwa itu maka keringlah genangan air yang ada di dalam danau. Seiring waktu dan sejarahpun mencatat, sampai sekarang Danau Engkaluk tetap tergenang air, yang rencananya oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sekadau, daerah tersebut akan direnovasi dan dilestarikan kembali agar sejarah tidak akan hilang ditelan zaman.
Pada suatu hari di datanglah suku dari daerah Sepauk (Sintang) karena bertepatan dengan musim ngayau, ngayau artinya keperkasaan seorang laki-laki pada suku tertentu dengan membawa kepala manusia dijadikan sebagai tumbal. Tujuan dari suku tersebut ingin mengayau di kampung Sanong, sesampainya mereka di lokasi Engkaluk serta merta memaksa kelompok Cina untuk mengantar mereka ke seberang, setelah ditanya kepada mereka ternyata satupun tidak ada yang mau mengentar. Dengan demikian gayung bersambut, perlawananpun tidak dapat dihindarkan lagi. Perlawanan yang tak berimbang satu berbanding sepuluh itu, mengakibatkan empat dari kelima suku Cina tersebut harus menerima takdir dan kenyataan, sedangkan yang satunya bersembunyi di balik dalong yang besar (kuali/kawah), yang kebetulan tertelungkup di belakang barak tempat tinggal mereka. Dengan persembunyian itu maka selamatlah satu dari kelima suku Cina tersebut. Kemudian setelah peristiwa itu terjadi suku yang datang dari Sepauk segera meninggalkan tempat dan menenteng empat buah kepala suku Cina yang terbunuh tadi dan mereka segera kembali ke daerah Sepauk lagi. Setelah beberapa saat suasana aman, keluarlah yang bersembunyi tadi kemudian langsung memberitahukan kepada penduduk lain. Mendengar peristiwa yang dilaporkan tadi penduduk
Kampung Sanong menjadi berang. Tanpa basa-basi mereka segera berkumpul, dan balik menyerang suku yang datang dari Sepauk, yang kebetulan masih dalam perjalanan pulang. Rombongan tersebut langsung mengepung tanah genting yang diapit oleh dua buah bukit. Pertemuan tak dapat dihindari perang sengitpun langsung terjadi. Akhir dari penyerangan tersebut Suku dari Sepauk semuanya mati dan kemenangan jatuh kepada Suku Ketungau yang berasal dari Kampung Sanong. Setelah acara ritual dengan kematian orang-orang suku Cina tadi, yang tersisa hanya satu orang mereka kembalikan ke Tiongkok. Danau Engkaluk setelah ditinggalkan oleh suku Cina tadi hampir menjadi semak belukar yang tampak hanya hamparan pasir yang luas dan Danau Engkaluk yang tenang tanpa penghuni. Kurang lebih pada abad ke 17 datanglah Bangsa Inggris, mereka membuka lahan perkebunan karet tepatnya di pesisir lokasi Danau Engkaluk yang pada waktu itu Kampung Sanong telah berganti nama menjadi Seraras dengan Kepala Kampung KIAYI DRAMAN. Dan Kebayannya bernama YAHYA BIN MOHAMMAD YASIN. Untuk memperkuat kedudukan dan mencari simpatik rakyat, maka Yahya M. Yasin diangkat oleh Inggris menjadi mandor di perkebunan karet milik Inggris yang berada di Danau Engkaluk dan pesisir Sungai Kapuas.
Sepeninggalnya Inggris dari Indonesia, Danau tersebut oleh Inggris diserahkan kepada turunan Yahya M. Yasin untuk dijaga dan dilestarikan sebagai tanda peninggalan. Setelah melewati beberapa kurun waktu, datanglah Belanda ke Indonesia, dan daerah itu juga menjadi sasaran empuk para pendatang. Karena tidak lain yang menjadi incaran mereka adalah sumber alam yang terkandung di dalamnya. Danau tersebut pada waktu itu oleh Belanda langsung sebagiannya dibongkar, karena menurut mereka terdapat buaya yang dapat membahayakan keselamatn penduduk, dengan peristiwa itu maka keringlah genangan air yang ada di dalam danau. Seiring waktu dan sejarahpun mencatat, sampai sekarang Danau Engkaluk tetap tergenang air, yang rencananya oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sekadau, daerah tersebut akan direnovasi dan dilestarikan kembali agar sejarah tidak akan hilang ditelan zaman.
Air Terjun Entugun terletak di Dusun Kepayang Desa Tembaga Kecamatan Nanga Mahap Kabupaten Sekadau, daerah air terjun yang berbatasan dengan Ketapang ini mempunyai tiga tingkatan. Masing-masing tingkatan ada kurang lebih 30 meter. Airnya deras berliku-liku dan batunya terhampar saling memadu antara satu dengan yang lain. Gunungnya tinggi berhutan lebat lagi terjal disertai kucuran dan gemuruhnya air terjun membuat kita tak dapat mengungkapkan dengan kata-kata lisan . Air mengalir silih berganti berhawa dingin dan sejuk terasa sampai ketulang. Keajaiban pesona alam yang satu ini sangat menarik, juga ini adalah merupakan salah satu aset wisata daerah yang sangat perlu perhatian oleh pemerintah daerah untuk dilestarikan keasliannya. Dari ibu kota Kabupaten kurang lebih 45 km, dapat ditempuh menggunakan jalan darat dengan kendaraan roda empat dan roda dua.
Makam ini terletak diantara Lawang Siti dan Dusun Seladan dalam sungai Sekadau, jika menggunakan kendaraan roda dua dapat dilewati melalui Jalan Sintang Km 4 masuk ke lokasi kurang lebih dua Km. Sudah tidak asing lagi sebagian masyarakat Sekadau yang namanya “MAKAM PAHA DEMANG KUNIN” menurut cerita yang kami himpun dari tetua/sesepuh yang dapat dipercaya. Bahwa makam yang usianya ratusan tahun ini hanya terbuat dari batu biasa, setelah di ilhami melalui mimpi beberapa orang, ternyata itu adalah Kuburan Paha Inik Kamonink.Makam tersebut panjangnya 3 meter lebih. Untuk melestarikan bukti sejarah tersebut, maka kurang lebih 15 tahun yang lalu direnovasi kembali oleh penduduk Desa Mungguk “Hasan Dego” dengan menggunakan semen. Pada zaman dahulu, makam ini sering dikunjungi oleh orang-orang yang mempunyai maksud tertentu, dan tak sedikit temuan-temuan ganjil/aneh sebagai cerita pribadi orang yang apabila kebetulan melewati makam ini dimalam hari terutama melewati jalur sungai, karena letaknya tidak jauh dari pantai sungai Sekadau.
Kurang lebih 15 km dari Balai Sepuak Kecamatan Belitang Hulu Kabupaten Sekadau, terdapatlah sebuah rumah panjang yang terletak di Dusun Sanke Desa sungai antu Hulu. Bangunan motif suku Mualang ini, sangat asyik dan menarik jika disimak secara mendetail, makna yang terkandung dibalik simbol, motif, aksesoris dan khas bangunan yang menjulang ke atas mempunyai ketinggian tiang rumah beberapa meter diatas tanah, ini merupakan bangunan peninggalan satu-satunya di Kecamatan Belitang Hulu.
Di Kecamatan Belitang Hulu Balai Sepuak, tepatnya di Desa Seburuk. Ternyata menyimpan aset wisata yang tak ternilai harganya, yaitu Sumber Air Panas Bumi. Air ini mengebul dan mengalir sepanjang masa dari perut bumi hingga sekarang. Panas air ini cukup tinggi sehingga dapat dimanfaatkan untuk merebus telur jika kita rendamkan di dalamnya beberapa saat. Konon ceritanya menurut kepercayaan masyarakat setempat, apabila kita mandi di sana, air tersebut dapat menyembuhkan bermacam-macam penyakit kulit, objek ini sangat menakjubkan. Jarak tempuh antara Balai Sepuak dan Desa Seburuk kurang lebih 10 km. Jarak ini dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua sampai ke Desa Seburuk, kemudian berjalan kaki hanya 45 menit sampailah ke lokasi Air Panas tersebut.
Tenggorak manusia ini adalah peninggalan Suku Dayak Punan, terdapat di Dusun Sulang Botong Desa Sungai Sambang, Kecamatan Sekadau Hulu ( Rawak ) kurang lebih 27 Km dari Ibu Kota Kabupaten Sekadau. Dikisahkan pada zaman dahulu, konsistennya setiap suku untuk mempertahankan adat istiadatnya cukup kuat, berlakunya bervariatif sesuai dengan situasi dan kondisi daerah atau suku yang bersangkutan, terutama istilah ngayau pada waktu itu sangat populer. Hal itu dilakukan selain untuk mempertahankan daerah kekuasaannya, sistem adat yang kuat dan mengikat juga untuk dijadikan sebagai tanda keperkasaan pria dimata seorang wanita yang ditandai dengan membawa kepala manusia sebagai bukti.
Lokasi Riam Segiam dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda dua dan jalur sungai, yang terletak di perairan sungai Sekadau 25 Km dari ibu Kota Kabupaten Sekadau, 5 km dari Rawak (Sekadau Hulu) Lokasi tersebut jika dihitung dari Kecamatan Nanga Mahap kurang lebih 52 Km dan sangat cocok sekali untuk kegiatan olah raga ARUNG JERAM, objek tersebut mempunyai arus air cukup deras apalagi dimusim kemarau.
Batu bertulis adalah Obyek Daya Tarik Wisata, yang merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Hindu di tanah air. Batu bertulis yang dimaksud ini terdapat di sungai Tekaret anak sungai Mahap, dari pinggir sungai kurang lebih 30 M dekat Kampung Pait Kecamatan Nanga Mahap 18 km dari ibu kota kecamatan ke lokasi, dan 59,85 km dari ibu kota kabupaten ke kecamatan nanga mahap.
Tinggi sebelah kiri batu tersebut 2 M. Sebelah kanan 3,90 M. Lebar 5,10 M. Batu ini juga pernah diteliti oleh tim Puslitar dari Jakarta tahun 1982, memperkirakan batu tersebut ada sejak tahun 650 pada abad ke 7 Masehi pada masa akhir Hindu dan awal Budha sedangkan tulisan tersebut menggunakan huruf Pallawa bahasa yang digunakan Sankskerta.
Hingga kini makna, dan arti tulisan yang terdapat di batu tersebut belum dapat diterjemahkan.
Tinggi sebelah kiri batu tersebut 2 M. Sebelah kanan 3,90 M. Lebar 5,10 M. Batu ini juga pernah diteliti oleh tim Puslitar dari Jakarta tahun 1982, memperkirakan batu tersebut ada sejak tahun 650 pada abad ke 7 Masehi pada masa akhir Hindu dan awal Budha sedangkan tulisan tersebut menggunakan huruf Pallawa bahasa yang digunakan Sankskerta.
Hingga kini makna, dan arti tulisan yang terdapat di batu tersebut belum dapat diterjemahkan.
;;
Subscribe to:
Postingan (Atom)